Monday, November 10, 2014

Guru Bukan Dewa: Bimbel, Orangtua dan Nilai yang Jelek (3)

Ilustrasi (nedmartin.org)
Mengenai profesi guru, adalah penting memahami dengan siapa kita bekerja. Objek pekerjaan seorang guru adalah benda hidup, yaitu anak-anak dengan berbagai karakter dan keunikan yang bervariasi. Tugas guru adalah mengakomodasi semua kebutuhan murid-murid tersebut dalam belajar di sekolah. Tapi apakah seorang guru mampu melakukan hal tersebut? Harus! Karena target akhir profesi ini adalah menjadikan anak didik menguasai ilmu yang diajarkan. Tapi saya tahu ini sangat susah.

Bayangkan saja, jika kita mengajar 100 anak dengan kepribadian dan kebutuhan yang berbeda. Betapa capeknya untuk dapat memahami kebutuhan anak satu persatu dan akan lebih sulit jika mereka itu orang yang tertutup. Kalau mereka robot, pasti pekerjaan ini akan jadi sangat mudah. Tapi sayangnya bukan. Terlebih jika pelajaran yang diajarkan adalah Matematika. Bagi anak yang tidak suka Matematika, bisa menjurus benci kepada gurunya juga. Saya pun mengalaminya dan merasa ingin berteriak “Salah gue apa??”

Tantangan yang saya hadapi selama mengajar Matematika adalah anak-anak yang keterampilan berhitungnya kurang. Itu benar-benar pekerjaan tambahan dan itu menjadi kebutuhan khusus bagi anak-anak tersebut di saat anak-anak yang lain sudah belajar Aljabar dan aplikasinya.

Ketika bertemu anak-anak seperti itu, rasanya ingin teriak ke guru Matematika sebelumnya “Eh lo ngajarnya bener ga sih?”. Tapi itu sangat tidak etis karena ketika anak-anak tersebut lanjut ke jenjang yang lebih tinggi dan saya juga gagal untuk meningkatkan pemahaman si anak, pasti gurunya juga akan menyalahkan saya. Jadi yang bisa saya lakukan adalah mengorbankan waktu jam istirahat saya untuk memberikan pelajaran tambahan untuk anak-anak spesial tersebut.

Memang ini sangat menyita waktu, belum ditambah waktu untuk mengecek hasil ujian anak-anak yang menumpuk, tapi ini adalah bagian dari dedikasi pada pekerjaan.

Guru tidak hanya memberikan pelayanan kepada murid saja, tapi ada benda hidup lain yang menjadi klien kita, yaitu orang tua. Dan yang juga melatih guru untuk dapat berkomunikasi dengan baik, sopan serta membangun hubungan baik dengan mereka. Tapi tantangannya di sini adalah, bagaimana kita berhadapan dengan orang tua yang terlalu demanding.

Saya seringkali menemui orang tua yang menuntut guru untuk dapat membuat anaknya paham Matematika yang mana anaknya masih kurang keterampilan di Matematika sendiri. Jika anaknya gagal dalam tes, guru lah yang disalahkan. Kalau memang hal itu terjadi, saya memang merasa bersalah karena saya tidak bisa mencapai target pekerjaan saya. Tapi apakah guru sepenuhnya salah? TIDAK!

Butuh kerjasama antara guru dan orang tua karena ada beberapa orang tua yang hanya mengirim anaknya ke bimbel dan merasa tugasnya sudah selesai untuk memberikan bimbingan dan perhatian ke anaknya. Saya rasa itu tidak cukup. Apakah anak tersebut benar-benar serius ketika belajar di bimbel? Apakah topik yang diulang di bimbel sinkron dengan topik yang sedang diajarkan di sekolah? Dan apakah orang tua sendiri menekankan sikap hormat kepada anaknya di rumah sehingga mereka bisa hormat pada guru di sekolah?

Hal-hal itu yang kadang dilupakan oleh orang tua dan sebenarnya masih ada hal-hal yang lebih kompleks lagi. Tapi intinya di sini adalah guru dan orang tua harus membangun komunikasi dua arah yang intensif sehingga keluhan tidak akan timbul di waktu pembagian rapor. Dan saya ingin menekankan bahwa guru bukanlah seorang pesulap yang hanya dengan membaca mantra sim salabim bisa membuat siswa langsung paham semua hal.

Saya ingat slogan salah satu sekolah swasta yang saya tidak bisa menyangkal. Learning is a journey, not a race. Belajar adalah perjalanan, bukan balapan. Jadi dalam perjalanan tersebut, sangat diperlukan kerjasama semua pihak yang perlu terlibat. (BERSAMBUNG)

Tulisan Ini merupakan catatan pribadi. Tulisan ini akan disajikan dalam empat seri. Ini merupakan yang ketiga. Semoga bermanfaat! Dan, tunggu seri-seri selanjutnya ya...




1 comment: