Friday, March 29, 2013

Jusuf Kalla dan Subsidi Sontoloyo

(tribunnews)
Persoalan subsidi akhir-akhir ini makin buat panas acara-acara berita. Apalagi kalau bukan subsidi BBM yang kian kini kian membengkak. Dengan jumlah penjualan kendaraan pribadi yang makin meningkat tiap tahunnya maka subsidi yang makin membengkak adalah hal yang “normal,” maksudku, memang beginilah hukum sebab akibatnya. Pada kenyataannya, subsidi yang besar ini memang tak normal.

Berita terakhir tentang subsisi BBM mengatakan bahwa jumlahnya capai 137 trilliun yang merupakan bagaian dari subsidi energi yang totalnya 225 trilliun (2012). Subsidi ini jumlahnya jauh lebih besar disbanding subsidi social yang hanya 0,5% dari APBN-P 2012 sementara total subsidi energi adalah 2,2%.

Sejak terpilihnya SBY menjadi presiden 2004 lalu, harga bensin masih 4.500 rupiah terlepas dari beberapa waktu ketika ia menjadi 6.000. Baik, poinnya adalah harga bensin atau katakanlah BBM tak naik dalam kurung waktu sebegitu lama. Padahal, harga minyak dunia terus mengalami kenaikan.

Kau dapatkan masalahnya?

Kalau kau tahu maksudku, maka secara mudah hanya ada satu missing link di sini. Jadi, apa yang bisa membuat harga BBM tetap stabil? Dalam konteks ekonomi negara, maka jawabannya yang mungkin adalah subsidi. Maka, masalahnya adalah subsidi yang dikeluarkan pemerintah pastilah naik setiap tahunnya seiring kenaikan harga minyak dunia PLUS naiknya jumlah pengendara kendaraan bermotor.

Stabilnya harga BBM tentu seperti angin segar bagi masyarakat. Ya iyalah, lha wong harga tetep kok ngga senang?! Tapi tunggu dulu, memang harga BBM tak naik, tapi coba kau perhatikan harga makanan di sekitarmu. Adakah yang dalam kurung waktu tertentu, katakanlah dari tahun 2004 hingga sekarang, hargnya sama?


Aku akan beri tahu, nasi goring dekat asaramaku saja, sudah naik 60% dari harganya yang dulu hanya 5.000 kini jadi 8.000. kau mungkin biang kalau harga itu bukanlah hal penting karena memang kau bisa membelinya, tapi kalau kau lihat proporsi kenaikkannya yang 60% dalam kurung waktu beberapa tahun saja, bukannya itu GILA!

daging dalam kemasan (heraldsun)
Kau dapati masalahnya?

Aku akan mulai membandingkan apa yang kulihat di Amerika sana. Baik, di negara adidaya itu, pemerintah juga mengleluarkan subsidi yang banyak bagi rakyatnya. Mereka yang tak bisa hidup layak mendapatkan bantuan sosial yang jumlah banyak sekali setiap bulan. Amerika memberikan sebagian besar subsidinya pada bahan-bahan makanan bagi rakyatnya. Harga daging, susu, keju, tepung, sayuran, buah-buahan stabil sekali dan selalu terjangkau oleh setiap rakyatnya.

Gaji rakyat Amerika, sesuai penglamanku, memiliki sekitar beberapa kali lipat dari standar gaji di Indonesia. Katakanlah kalau kita bekerja di sini sebagai staff diargai 20 ribu perjam atau sekitar 2,5 dollar, maka pekerjaan yang sama di AS akan bergaji sekitar 20 dollar perjam. Menarik bukan?

Akan tetapi harga bahan makanan seperti daging, susu, dan keju harganya tak jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia. Bahkan, kalau daging-daging tersebut masih bagus tapi menjelang kadaluarsa, sekitar dua hari sebelumnya, maka hargnya akan didiskon hingga 75%. Ketika itu aku melihat satu set drum stick (paha ayam) berisi 10 potong harganya hanya 2 dollar! Bayangkan, sebegitu banyak daging ayam hanya dengan, katakanlah 20 ribu! Mana ada di Indonesia!

Aku juga menemui beberapa orang yang berkeluarga tapi penghasilannya totalnya tak memenuhi standar kemakmuran kotanya. Maka , pemerintah pun memberikan bantuan voucher belanja beberapa ratus dollar bagi mereka secara cuma-cuma.

Di sisi lain, harga BBM selalu berubah-ubah sesuai harga pasar. Harga hari ini bisa jadi berbeda sama sekali dengan kemarinnya atau esoknya. Ketika belajar di AS, aku sering mendapati kawanku mengecek harga BBM yang terkini untuk memastikan harganya masih rasional buat kantongnya. Pernah suatu hari harga 1 galonnya 3 dollar. Beberapa bulan setelahnya harganya menjadi hampir 5 dollar. Tapi kemudian harganya kembali ke tiga lagi.

Sekarang, kalau kita mau membandingkan dua sistem subsidi ini, mari lihat bagaimana kesejahteraan umat dari masing-masing negara. Mungkin kau akan berteriak-teriak, mana ADIL bandingkan Amerika dan Indonesia?!

Aku tak akan membandingkan segala hal. Tenang saja. Mari mulai dengan kesehatan masyarakatnya. Tapi, aku akan hanya bercerita tentang pengalamanku. Jadi, karena akses terhadap makanan berkualitas sangatlah mudah dan terjangkau, katakanlah daging dan susu, kualitas hidup masyarakat sana sangatlah tinggi. Di luar masalah gen, secara rata-rata, postur tubuh mereka jauh lebih besar dan harapan hidupnya jauh lebih panjang.

Aku sering jumpai orang umur 60-an sampai 70-an tahun masih aktif bekerja di masa pensiun mereka seperti jadi sopir bus, pekerja sosial, dan masih banyak lagi. Anak-anak mudanya secara fisik terlihat jauh lebih matang dari apa yang kulihat di Indonesia. Kematangan sistem perekonomian ini didukung dengan subsidi pendidikan yang tinggi jumlahnya. Sekolah-sekolah negeri (state schools) di AS gratis dan memiliki standar pengajaran yang juga sama rata berkualitasnya.

Sekarang mari melihat ke dalam negeri. Harga BBM memang stabil, tetapi harga makanan naik turun seenaknya! Kasus naiknya daging dan bawang akhir-akhir ini menjadi contoh bahwa pemerintah kita macam tak pernah memberi perhatian pada bagaimana masyarakat berhadapan dengan harga makanan yang berubah-ubah.

Harga daging naik, harga buh-buahan naik, harga susu naik, harga beras naik. Sejujur-jujurnya, saya setuju dengan pernyataan Jusuf Kalla ketik ia dalam sebuah kesempatan bilang bahwa subsidi pada BBM dari pada makanan adalah hal yang tak masuk akal—fatal! (Aku sebenarnya ingin bertanya, ‘Lha dulu pas jadi wapres ngapain, Pak?’ Aku tapi juga sudah mengasumsikan jawabannya, ‘Memang kau kira saya yang mengambil keputusan?’ Baguslah aku tak jadi tanya)

Di Indonesia ini memang susah, semua dipolitisasi! Asumsinya adalah sistem subsidi macam ini tentu akan memberikan efek SHOCK yang besar bagi rakyat pada umunya. Rakyat, saya bertaruh, akan susah menangkap rasionalisasinya mengapa harga BBM dibiarkan naik turun sementara subsidi makanan bagi mereka tidaklah penting.

Silahkan mengecamku mengatakan ini. Tapi memang faktanya begini. Rakyat kita lebih suka memiliki motor dan mobil bagus dan bisa berjalan-jalan memamerkannya daripada punya kualitas hidup yang baik dan awet melalui makanan-makanan dan pendidikan yang terbaik. Tapi, semoga kau menangkap maksud baikku dari membaca ini tulisan ini dari awal.

Tapi lagi-lagi, pemerintahan yang terlalu politis yang dikendalikan oleh partai yang bermasalah (setidaknya bila dibanding partai-partai lainnya dan dengan pertimbangan berita-berita yang muncul di media akhir-akhir ini) tentu ingin memanfaatkan kerancuan berpikir di kalangan masyarakat bawah yang jumlah adalah mayoritas.

JK dalam sebuah acara di Paramadina (antara)
Kau dapati masalahnya?

Masalahnya adalah subsidi sekarang ini adalah subsidi sontoloyo! (Meminjam kata sontoloyo dari Islam Sontoloyo-nya Bung Karno) Subsidi kali ini sudah dalam tingkat kejelasan tingkat tinggi bahwa ia tak tepat sasaran! Kukira pemimpin negeri ini akan dengan mudah dengan subsidi yang tepat.

Tapi, mereka memilih tak mengambil kebijakan ini karena secara politis ini tak akan memberikan efek baik bagi kelanggengan kekuasaan. Penguasa negeri saat ini pun ikut jadi sontoloyo, karena ketika seharusnya mereka menentukan kebijakan-kebijakan, khususnya soal subsidi, yang memang berdampak pada perbaikan hidup masyarakat negeri dalam jangka panjang, mereka mengambil jalan yang lain.

Pengambil kebijakan negeri ini nampak tak mau mengambil risiko apapun yang akan mengoyak kemapanan mereka pada tahta kekuasaan. Pemimpinnya nampak sering menanggapi hal-hal yang tak perlu dan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan krusial negeri ini. Ia nampak sering prihatin atas segala sesuatu sebenarnya harus ia sikapi dengan sikap yang optimis dan jantan.

Bagaimana negara ini bisa tegak kalau simbol dan ikon utamanya penuh keprihatinan, keluhan, dan sifat pesimis, serta, yang parah, politis?! Bagaimana?!

Aku ingin sekali lagi menggaris bawahi pernyataan Jusuf Kalla, “Orang lebih suka subsidi BBM ketimbang subsidi daging. ‘Kan itu fatal!” Dan, dalam konteks subsidi ini, bukannya mengarahkan dan membimbing rakyatnya pada pilihan-pilihan yang cerdas dan berdampak positif jangka panjang, pemerintahnya iya-iya saja dengan apa kata rakyat. Ya iya dong, kan biar nanti dipilih lagi, urusan negaranya makmur apa ngga itu nanti…

No comments:

Post a Comment