Friday, March 1, 2013

Dakwah Ompong

ilustrasi (republika.or.id)
Suatu pagi aku menyapu halaman depan asramaku. Sepagi itu, sebuah sepeda motor masuk pelataran. Ia kawanku, datang sehabis pengajian ba’da Shubuh. Sekonyong ia menyapa, aku jawablah sapanya. Lanjutnya, “Kau rajin sekali bersihkan ini. Kau dakwah dengan perilaku ya?”

“Ayo bantu…” ajakku. Rupanya ia hanya melempar senyum. Lalu aku basa-basi, “Habis dari mana memang?”

“Biasa, pengajian…,” dengan masih tersenyum, ia masuk ke asrama.

Dari pengalaman singkat itu, aku melihat ada dua kategori dakwah: perilaku dan pengajian. Sederhananya, tindakan dan ucapan. Mana yang lebih penting, itu yang akan menjadi pertanyaan pada tulisan saya kali ini.

Kalau bicara soal dakwah, saya bertaruh apa yang terlintas dengan dalam pandangan Anda adalah para ‘ulama’ bersorban yang berseru-seru kepada umat untuk berbuat baik dengan mengutip ayat-ayat Al-Quran dan Hadits di sana-sini.

Orang berdakwah harus punya pengetahuan agama yang cukup. Harus pernah belajar agama di sekolah agama atau pesantren. Harus punya hafalan ayat-ayat yang luas sehingga setiap pertanyaan soal apapun bahkan soal teknologi harus ada rujukan ayatnya, setidaknya itu anggapan umum yang berkembang di masyarakat.

Anda harus punya pakaian ‘Muslim’ yang umunya lekat dengan warna putih, sorban, dan sarung. Kalau perlu, harus ada arab-arabnya dalam nada bicarnya.

Wujudnya adalah kini banyak sekali majelis pengajian di sekitar kita. Seminggu tujuh kali, siang malam. Dzikir dan kalam Ilahi dilantun-lantunkan.

Katanya, mereka takut masuk neraka, mau kelak masuk surga. Dunia ini tempat mencari pahala yang hanya bisa diraih dengan sholat yang berkali-kali, puasa yang berhari-hari, zakat di hari raya, dan berhaji berkali-kali.

Tapi begini, yang saya tahu, bukankah dakwah itu seharusnya sesuai dengan firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”?

Secara harfiah, dakwah berarti menyampaikan, tentunya menyampaikan segala hal yang baik, perlu dan penting bagi kebaikan umat. Mengacu pada firman Tuhan di atas, sudah seharusnya tiap seruan dakwah harus bareng dengan tindakan atau contoh riil, nyata.

Nabi SAW pun hadir bukan sebagai da’i (menurut pengertian umum) yang hanya sibuk berbicara dan menebar kutipan ayat Tuhan. Tapi beliau adalah suri tauladan yang dakwahnya berefek jangka panjang, berabad-abad lamanya. Kalau Anda membayangkan Nabi hanya sibuk menerima wahyu lalu memberitakannya kepada sahabat-sahabatnya, saya kira Anda perlu membaca kembali sejarah beliau.

Sebagai Nabi, bukankah beliau juga menjadi founding father sebuah negara sekaligus menjadi kepalanya? Jauh ke belakang, bukankah beliau adalah pedagang yang kaya, adalah penjelajah yang tangguh dan pemimpin suku yang disegani?

Kembali ke cerita di awal tulisan ini, saya sebenarnya bingung, apa yang maksud kawanku satu ini bilang bahwa saya dakwah dengan perilaku? Bukankah dakwah, kalau menilik kutipan ayat tadi, sudah seharusnya berbareng dengan perilaku? Begini, dakwah dewasa ini, sejauh pengamatan saya, lebih banyak membicarakan soal fiqih yang tak henti-henti. Bagaimana sholat itu tangannya di dada atau di perut, bagaimana wudlu itu apa air harus membasahi seluruh kepala, dan bagaimana berpuasa itu boleh apa tidak sambil berenang dan tertelan airnya.

Apa yang diklaim sebagai dakwah adalah sesuatu yang hampir sama sekali tidak bermuatan pesan etika Islam sejati yang di contohkan Nabi dalam segala aspek hidupnya: lingkungan, pendidikan, ekonomi, politik. Dakwah sibuk membahas tata cara-tata cara ibadah yang dianggap kelak membawa pengikutnya masuk surga.

Saya bukan bermaksud mengatakan semua soal fiqih itu tidak penting, tetapi soal yang kita hadapi di masyarakat-lah yang jauh lebih perlu disentuh dalam tiap dakwah: soal kebersihan, lingkungan, pendidikan, ekonomi, politik dan lebih-lebih yang paling mutakhir, korupsi.

Kalau begini caranya, dakwah sudahnya menjadi dakwah ompong, tak bisa menggigit masalah-masalah nyata yang dihadapi umat. Yang lebih disayangkan, dakwah ini semacam membawa masyarakat untuk makin tercerabut dari kehidupan sosial dan masalah-masalahnya, lalu ‘berfantasi’ masuk surga dengan sholat-sholat dan lantunan ayat-ayat.

Bolehlah dalam pengajian, yang dianggap sebagai dakwah, sering didengungkan ajakan untuk hidup seperti Rasulullah yang santun, jujur, dan rajin beribadah. Tapi mari kita lihat realitas umatnya. Saya mau sepesifik saja, mereka yang menjadi jama’ah pengajian, apakah mereka menjaga kebersihan, ketertiban, dan ketentraman?

Dakwah sudah harus melibatkan ucapan dan tindakan. Tak ada ceritanya dakwah hanya dengan ucapan. Sebab, itulah yang dapat mendorong perubahan. Sudah saatnya kita umat Islam kembali melihat ke sekitar, apa yang sudah kita perbuat buat kehidupan sosial.

Allah menciptakan kita untuk bisa berbuat baik dan bermanfaat ke sesama. Dakwah yang merupakan media untuk menyeru pada kebaikan dan perubahan harus lengkap dengan contoh atau suri tauladan yang baik. Kalau tidak, Anda membuat agama ini makin tidak menarik saja: banyak anjuran tapi kalau ditanya apa dampak sosialnya, nol besar (*)

Tulisan ini ditulis buat Bulletin Jum'at DKM Paramadina (1/2)

5 comments:

  1. Mulai paham dengan cara pandangmu tentang agama kang, :)

    ReplyDelete
  2. Dakwah itu, berarti ada integritasnya ya ka? Berdakwah yang baik2 berarti sekaligus memberikan contoh yang baik?

    ReplyDelete