Sunday, February 27, 2011

Soal Aliran Keyakinan yang Berbeda

ilustrasi kekerasan terhadap fasilitas Ahmadiyah
(img.ibtimes.com)
Wooy, sesat… sesat!!!
Hajar… hajar…!!!

Isu terakhir yang berkembang adalah tentang Ahmadiyah. Ini tentang salah satu alur pemahaman dalam agama Islam. Jargon-jargon sesat menyembur kuat-kuat dari mulut-mulut mereka yang tak setuju. Yang selanjutnya membumbuinya dengan bacaan takbir. Ahmadiyah dianggap sesat dan diminta untuk tobat!

Siapa yang salah? Siapa yang sesat? Itu tentu pertanyaannya. (beeuuuh, serius nih kali ini tulisannya). Ini sudah menyentuh soal keyakinan. Oleh karena itu, dalam tulisan yang biasanya hanya 'kerjaan anak kurang kerjaan ini' (he-he), soal ayat-ayat tak mungkin dibahas.

Soal keyakinan, saya kesampingkan dulu. Yang mau dibahas adalah soal kekerasan dan main hakim sendiri-nya.

Baiklah, kalau mau dipikir lebih dalam, buat apa sebenarnya orang lakukan kekerasan? Terlepas dari setuju atau tidak setuju, ada saja yang akan dikecewakan: keluarga, orang-orang yang dicintai, dan juga teman-temannya.

Manusia adalah hewan yang berakal, itu kata seorang filusuf. Akal sejatinya harus membimbing manusia untuk melakukan proses berpikir lanjut untuk setiap tindakannya. Asasnya sederhana: perbuatan yang mau dilakukan bermanfaat tidak? Memberi perubahan tidak? Atau malah menambah masalah?

Dimana pun, kekerasan tak akan menyelesaikan masalah. Nampaknya memang akan segera selesai masalahnya. Misal dengan main keroyokan, seorang maling bisa saja jera, atau mungkin mati sekalian. Tapi apa selesai masalahnya? Lalu puas? Saya kira, yang dapat puas melihat sesama makhluk mati hanyalah binatang!

Kita juga dianugerah hati oleh Tuhan untk membimbing kita berpikir jernih. Bahwa, seperti diungkapkan oleh Cak Nur, hati nurani adalah bekal sifat ketuhanan yang dititipkan oleh-Nya pada kita semua. Oleh karena itu, semua manusia punya potensi baik. Namun, tempat ia bertumbuh kembang, itu masalahnya.

Tapi mari sejenak berpikir? Siapa memilih lahir di keluarga Muslim, atau dikeluarga Katholik, atau dikeluarga Ahmadiyah, atau juga lahir di China, lahir di Eropa, pun lahir di kubangan lumpur atau tempat sampah?

Kalau lahir dan besar dengan didikan Ahmadiyah dari ibu yang Ahmadiyah, apa itu salah? Kalau kita bisa tentukan siapa lahir dari rahim siapa, dan lahir dimana, maka tentulah namanya ini bukan dunia. Ini hanya khayalan belaka dengan tingkat kebodohan paling tinggi. Kebodohan manusia yang bermimpi menjadi Tuhan!

Dalilnya? Kan mereka salah menurut keyakinan yang umum? Kemooon, apakah pembunuhan orang lain dijustifikasi oleh ajaran agama? Pakai dalil lagi! Agama macam apa kalau begitu itu? Itu kan pemikiran kamu.

Baik, mari sejenak kita memanfaatkan logika. Tuhan adalah realitas yang tak mungkin berbatas, tak terjangkau, dan Mahasegala-galanya. Sementara dunia ini, adalah realitas yang batasannya di sana-sini. Maka apakah mungkin ketidak-terbatasan Tuhan diterjemahkan dalam keterbatasan dunia ini?

Begini, kita pahami bahwa ayat-ayat Tuhan yang dikemas dalam Kitab Suci. Nah, untuk membacanya, kita perlu penfsiran. Ya, itu adalah penafsiran manusia yang hidup dalam keterbatasan. Maka, apakah dengan demikian penafsiran itu dapat menjadi representasi pesan Tuhan yang sebenarnya? Memangnya, yang menjadi Tuhan itu siapa?

Penafsiran tetaplah penafsiran dan ia adalah produk manusia. Bukan maksud Tuhan yang sebenarnya! Banyak orang punya penafsiran berbeda-beda. Banyak ahli atau pun ulama yang telah melakukannya. Kita semua mencoba untuk menafsirkan kehendak Allah di dunia ini, tetapi kita punya keterbatasan. Maka penafsiran itu bukanlah nilai absolut yang bisa menjustifikasi sebuah masalah secara keseluruhan.

Memang agak serius tulisan ini. (Hadeeh, ngga usah elo jelasin juga, dari tadi udah serius ini..) Okelah, jalan yang terbaik adalah jalan tengah, jalan moderasi yang mengedepankan apresiasi antar sesam. Perbedaan sudahlah menjadi realitas takdir Allah di bumi ini. Dan untuk mengakomodasinya, bersikap apresiatif adalah solusi terbaik.

Sebab, memang harus diakui bahwa salah satu penyebab kerusuhan juga ada oknum Ahmadiyah yang mengacau, bikin provokasi, atau juga sikapnya yang eksklusif!

Jadi, Ahmadiyah benar atau salah? Itu tak perlu dijawab. Bagi saya yang ikut ajaran Sunni, maka saya katakan bahwa ia berbeda dengan saya. Lalu? Ya sudah biarkan. Toh, yang tanggung jawab juga mereka sendiri kelak di Hari Kemudian. Allah dan Rasulullah pun tak akan kurang kehormatannya hanya gara-gara ada mereka.(Ha-ha, serius bener Bos…)

Ya sudah, yang penting mari kita semua refleksikan diri sejauh mana kita lakukan kebaikan untuk orang lain. Banyak hal yang harus diselesaikan. Kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan lain-lain. Dari pada gontok-gontokan, mendingan pergi ke panti asuhan dan ajak mereka bernyanyi lagu-lagu yang membangkitkan semangat mereka, bukan? (tidak terlalu nyambung sih… tapi saya kira itu lebih baik)


9 comments:

  1. assalamualaikum
    alhamdulillah saya sempat berkunjung ke blog ini lagi
    setelah membalas komentar Anda di blog kangmusa tentunya
    dan selalu saja posting yang Anda sajikan sangat menarik dan inspiratif
    seperti mengajak untuk menjadi lebih baik dan lebih baik lagi ke depan
    semoga saya bisa mengambil pelajaran berharga dari posting-posting Anda
    jangan lupa untuk berkunjung balik ke http://www.kangmusa.com
    salam hangat
    kangmusa

    ReplyDelete
  2. yo wis lah...sinau dsk seng pinter..ben sok nek wes gede gak nggarai jos2an seng gak genah..

    sip apik sid..i like it

    ReplyDelete
  3. sek2..kang musa iki musa abdul hamid si gendut iku ta....ko' nang kene kon..???hahaha

    ReplyDelete
  4. Gw juga kadang anang hermansyah Syid sama orang2 yang suka maen hakim sendiri. Kalo mereka emang sesat, durhaka, murtad, dll, yo wiee. Pan tar juga ada hari dimana kita masing2 mempertanggung jawabkan apa yang sudah di perbuat di muka bumi ini kepada Sang Pencipta

    ReplyDelete
  5. saya juga setubuh.. eh setuju..
    atikele apek jazz..

    ReplyDelete
  6. super sekali mas jazz ini,
    setuju banget beeuhhh,,

    kita bukan Tuhan yang bertugas menjustufikasi orang, kaum apakah benar apa salah. Yah budaya di Indonesia memang membesarkan banyak orang hidup dalam dikotomi benar dan salah, sehingga tanpa banyak tahu langsung maen hajar.

    kambali lagi, urusan agama adalah hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya. Gak usahlah dicampur adukkan dengan masalah sosial. Selagi secara sosial kita baik, lantas apa yang dipermasalahkan. Masalah dosa, baik benar, itu hak Tuhan. Bukan kita manusia yang kantas main hakim sendiri,,

    hehehehe

    bukan begitu bukan mas Jazz

    gud writing mas,,

    ReplyDelete
  7. Toleransi boleh , tetapi jika sudah mengganggu sikat habis aja

    ReplyDelete