Saturday, February 13, 2010

Paradigma dan Perguruan Tinggi

Dalam dunia pendidikan, adalah kesempatan yang sangat baik bila bisa melanjutkan jenjang pendidikan ke tingkat perguruan tinggi atau universitas. Perguruan tinggi menawarkan sebuah proses pendidikan yang mematangkan cara berpikir mahasiswanya. Perguruan tinggi  memberi gambaran masa depan bagi mereka.

Yang menarik dari sebuah perguruan tinggi adalah pluraritas. Jumlah perguruan tinggi yang jauh lebih sedikit daripada SMA, membuat kapasitas jumlah mahasiswanya yang cukup besar. Tak jarang perguruan tinggi memiliki mahasiswa yang lengkap mulai dari orang Sumatra, jawa, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua. Pluralitas ini selanjutnya menjadi sebuah warna tersendiri yang membedakan perguruan tinggi dengan jenjang-jenjang pendidikan lainya.

Perguruan tinggi terbaik adalah yang bisa mengajarkan model berpikir sistematis dan analitis pada mahasiswanya. Dalam konteks berpikir sistematis, mahasiswa diajarkan cara berpikir yang runtut. Tak melompat-lompat. Mahasiswa seharusnya mampu untuk menjelaskan runtutan masalah yang dipikirkan lalu disampaikan. Baik lisan maupun tulisan.

Mahasiswa juga diarahkan untuk berpikir analitis. Mahasiswa harus memiliki dasar atas apapun yang diutarakan. Penguasaan atas konsep sebab-akibat menjadi sebuah keniscayaan. Ini yang menjadikan mahasiswa punya bobot kontribusi untuk masyarakat. Mahasiswa disiapkan untuk mengamati lalu mencari solusi masalah-maslah yang ada di masyarakat. Kemampuan menganalisis yang baik, akan mengekstrasi sebuah solusi yang tentunya tepat.

Bebas yang Dewasa
Sebagai mahasiswa, saya merasakan hal tersebut. Atmosfir ruang perguruan tinggi mengajarkan saya meraih kedewasaan. Kedewasaan ini saya artikan sebagai proses menuju kebebasan individu. Ketika orang telah dewasa cara berpikirnya, maka ia telah mampu untuk menentukan pilihan-pilihan hidupnya.

Inilah yang membuat saya mengartikan kedewasaan itu adalah sebuah proses menuju kebebasan. Kebebasan untuk menentukan pilihannya. Meski demikian, jangan diartikan bahwa kebebasan berarti bebas melakukan segala hal. Kebebasan yang diekstraksi dari proses kedewasaan adalah kebebasan yang dilandasi pengetahuan yang kuat atas konsekuensi yang dihadapi.

Ketika seseorang menyatakan dirinya bebas melakukan sesuatu, lalu ketika diminta pertanggungjawaban ia malah bersembunyi atau meminta perlindungan, maka itu tak bisa disebut kebebasan. Kebebasan yang sesungguhnya adalah kebbebasan yang sadar akan keberagaman atau pluralitas sehingga kebebasan itu masih harus dinegosiasikan. Tak membabibuta.

Selanjutnya, kebebasan haruslah berdasar pada nalar analitis sistematis. Kebebasan yang sebenarnya mengandung kesadaran akan akibat yang akan ditanggung. Kebebasan juga mengandung sebuah sistem keteraturan yang tentunya berdampak positif. Jadi kebebasan bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan dengan mudah. Kebebasan memerlukan proses panjang dan perguruan tinggi menjadi salah satu jalan mencapainya. saya kira, inilah model perguruan tinggi idaman. Sebuah model perguruan tinggi yang bisa mengarahkan mahasiswanya untuk menjadi insan yang bebas nan dewasa.

Kesempatan yang baik tersebut tentu sangat diperlukan oleh insan muda Indonesia. Ini akan sangat membantu Indonesia menyiapkan lapisan masyarakat yang produktif sekaligus konstruktif. Indonesia akan memunyai sebuah generasi yang tanggung, yang dewasa yang tahu akan pilihan-pilihan terbaik bagi bangsanya.

Masalah Paradigma
Yang menjadi masalah saat ini adalah paradigma insan muda Indonesia itu sendiri. Agaknya mudah ditemui mereka yang menganggap bahwa perguruan tinggi itu menjadi tujuan hidupnya, bukan sebagai jalan untuk tujuan hidup sebenarnya yang meraih mimpi-mimpinya. Banyak yang menginginkan dirinya disebut sebagai lulusan perguruan tinggi tertentu, atau bangga ketika ia menyandang almamater perguruan tinggi atau universitas tertentu.


Di Indonesia, adalah umum bila sering dijumpai lulusan SMA yang sangat menginginkan masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Mereka kira pendidikan di PTN selalu lebih baik dan murah. Itu sah-sah saja. Akan tetapi, sering kali mereka menganggap bahwa masuk PTN akan menjamin masa depannya lebih cerah.

Akan tetapi, yang seharusnya menjadi perhatian saat ini bukan perihal perguruan tinggi negeri atau swasta. Yang menjadi perhatian saat ini adalah apa yang menjadi cita-cita insan muda-insan muda Indonesia. Apa mimpi-mimpi luhur mereka. Nah, perguruan tinggi harus dipahami sebagai  institusi yang akan menghantarkan mereka meraih mimpi-mimpi luhur itu. Perguruan tinggi hanya memberikan salah satu alternatif jalan untuk mencapainya. Semuanya tetap tergantung individu masing-masing. Input yang baiklah yang tentunya akan membentuk output yang baik juga.

Sebuah Kenyataan
Sekarang ini, dunia pendidikan tinggi di Indonesia dihadapkan dengan sebuah kenyataan. Perubahan status PTN-PTN menjadi BHMN atau Badan Hukum Milik Negara, mengharusnya perguruan tinggi tersebut membiayai kebutuhan finansial operasinya sendiri. Masyarakat yang dulu menganggap bahwa kuliah di PTN itu murah, kini dihadapkan oleh realitas. Sebuah realitas yang menunjukkan bahwa pendidikan membutuhkan biaya yang tak sekedarnya. Pendidikan membutuhkan pengorbanan. Jer basuki mawa bea.


Kenyataan ini menunjukkan bahwa tak ada perbedaan antara yang negeri dan swasta. Kalaupun yang negeri saat ini terlihat lebih baik, itu karena memang input mereka yang baik. Memang tak akan ada yang menyangkal kalau UI dan ITB itu perguruan tinggi favorit Indonesia, mungkin juga yang terbaik. Tapi yang perlu diketahui, keadaan itu diraih karena memang input mahaiswa yang baik. Seleksi masuk yang memiliki standar tertinggi ada di sana. Kalau UI atau ITB baik itu biasa, tak ada yang hebat. Tak ada yang perlu dibanggakan.

Alternatif Solusi
Insan muda Indonesia perlu memahami bahwa tujuan hidup adalah mimpi-mimpi yang luhur demi bangsa. Dan perguruan tinggi adalah alat untuk mencapainya. Maka jangan salah menganggap perguruan tinggi menjadi tujuan itu. 


Namun, ketika masalah disajikan, maka alternatif solusi tentu dibutuhkan. Saya sendiri adalah orang yang mencari solusi alternatif itu. Dilahirkan dikeluarga yang sederhana tentu saya tahu kalau keuangan kelarga tak akan bisa menunjang kebutuhan saya nanti kuliah. Akhirnya saya memilih mencari beasiswa.

Ada beberapa beasiswa yang cukup dikenal di Indonesia ini. Pertama adalah Paramadina Fellowship. Sebuah program beasiswa yang saat ini saya dapatkan. Beasiswa ini digagas oleh Universitas Paramadina untuk menyiapkan lapisan pemuda terbaik bangsa ini. Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan, mengatakan bahwa lapisan pemuda yang terbaik perlu disiapkan. Karena 10-15 tahun kedepan, merekalah yang akan menjadi pemimpin negeri ini. Kalau tak disiapkan dengan baik, mau jadi apa bangsa ini. Beasiswa ini memberikan kesempatan penerimanya untuk menunut ilmu di Universitas tersebut selama empat tahun tanpa biaya sama sekali, bahkan tiap penerima mnerima uang saku bulanan selama masa studi. Beasiswa yang bukan basa-basi.

Kedua, beasiswa Sampoerna Foundation. Saya sangat mengagumi pembuat program ini. Bagaiama tidak? Beasiswa ini dimaksudkan untuk menyiapkan generasi guru terbaik Indonesia. Program yang ber-tagline "Creating New Generation of Teachers" ini dipersiapkan untuk membiayai insan muda-insan muda yang ingin menjadi guru. Di saat Indonesia kekuarangan guru yang berkualitas, Sampoerna Foundation, yang nota bene lembaga swasta, menyajikan sebuah program yang solutif. Beasiswa ini memberi penerimanya pendidikan berkualitas di Sampoerna School of Education yang sebagian pengajarnya adalah native speker atau ekspatriat. 


Bangsa Indonesia jelas memerlukan regenerasi kepemimpinan. Urgensi kebutuhan regenerasi itu sudah tentu menjadi keniscayaan. Maka insan muda-insan muda terbaik perlu disiapkan. Mempermaslahkan almamater, saat ini adalah hal yang naïf. Negeri atau tidak, bukanlah masalah. Sebab bukanlah almamater yang mengantarkan insan muda pada mimpi-mimpi mereka, tapi kemampuan mereka berpikir, kedewasaan, kepemimpinan dan juga kemampuan berkomunikasi-lah yang akan menemukan mereka dengan mimpi-mimpi luhur demi bangsa.


Selain sebagai tulisan lepas, tulisan ini juga didedikasikan untuk mengikuti lomba blog UII yang diselenggarakan Universitas Islam Indonesia

Tulisan ini merupakan tulisan pertama. tulisan kedua bisa dilihat di sini.

4 comments:

  1. aku juga mencari alternatif maz.
    aku beasiswa full 100% dari mulai uang kuliah sampai buku-buku di Universitas Bakrie.
    alhamdulillah hingga detik ini IPK masih diatas 3,00 jadi masih terus beasiswa.

    Sekarang orang sukses belum tentu dari universitas negeri maz :)
    Orang pinterpun belum tentu sukses tp org sukses dah pasti pinter.

    Smangadh maz kuliahnya :)

    ReplyDelete
  2. wah hebat kamu na.....

    terus semangat yah. nah berarti kamu di kuningan situ dunk...


    oelah kl begitu. ayo semangat!!!

    ReplyDelete
  3. Good article,, that's right, there isn't universitas negeri and universitas swasta again,, both of them are have the same even many universitas swasta have increasing in achievment and quality, I suggest for ur writing, first scholarship should have been Paramadina Fellowship,, I love Paramadina, I don't like if Paramadina be number 2,, Please change the potition ur paragraph,, But so far ur article is very good, can give information for all people that old paradigm must be change start from now, Go on to write something that can give motivation and good information and people can follow ur writing... good,

    Cheers,

    Wirawan
    www.jangandibuka.com

    ReplyDelete
  4. I really believe that no matter with private university.
    The objective is what our dreams is. than we interpret that university is just a way to get there.

    OK.
    o yeah, that is such good suggestion. I will change the position of the scholarships.

    thx, We.

    ReplyDelete