Tuesday, December 8, 2009

Senyum Bocah Pangerasan

Agung dan Abe-dari kiri- bocah pangerasan yang semangat bersekolah meski dalam keterbatasan.
Agung harus berjalan hampir setengah jam untuk sampai ke sekolahnya.

Sebuah Harapan di SMP Pangerasan

Udara sejuk lansung menyapa. Sebuah lanskap penuh hijau membentang membelai mata kami. Alam pangerasan ini terlihat masih perawan.

Hal itu cukup menggambarkan apa yang kami temui di pangerasan, kabupaten Bogor. Setidaknya kami seperti menemukan dunia baru. Dunia yang hampir 100% bertolak belakang dengan Jakarta yang kering dan panas.

Kalau anda di Jakarta, jangan harap menemukan satu hektar lahan yang masih hijau. Yang anda temukan hanya hamparan hutan beton. Itu di bagian tengah. Di bagain pinggiran, anda akan menemukan sebuah paradoks kehidupan. Di wilayah itu anda akan terpana melihat kekumuhan, serakan-serakan sampah dan orang-orang yang terlihat tidak terurus. Ini setidaknya bisa menyadarkan anda yang masih mengebu ingin berlabuh di kota berjuluk Batavia ini.
Merasa puyeng dengan keadaan Jakarta, pada 21 November dan 5 Desember saya dan beberapa teman di Hima Manajemen Paramadina berinisiatif pergi keluar kota. Sekali dayung, tiga pulau terlampaui, kami tidak hanya ingin refreshing, tapi juga bekerja sosial. Kami mengunjungi sebuah sekolah binaan, bukan negeri tentunya. Namanya SMP Pangerasan.

SMP yang terpencil. Ungkapan yang agaknya pas dengan kondisi sekolah itu. Kami, terpaksa, memarkir kendaraan setengah kilo dari lokasi. Sudah kami tebak, kami harus jalan kaki ke sana.


Terisolasi
Perjalanan on-foot kami di sambut dengan jembatan kereta api. Kami melewatinya sebagai pembukaan langkah perjalanan menuju SMP tersebut. Mungkin anda berpikir kami pencilakan dan berkata dalam hati, “Memang tidak ada jalan lain apa?” kami jawab, “Ya!” kalaupun ada, hanya terdapat jembatan yang terbuat dari bambu, yang kalau dilewati bergoyang kesana-kemari.

Jalan menuju SMP naik turun, tapi banyak naiknya. Kami beralan kaki sekitar 15 menit agar bisa sampai di tempat tujuan. Sekolah berada di atas bukit, jadi walau setengah kilometer jauhnya, terasanya satu kilo atau bahkan lebih. Cukup untuk membuat kami bernafas tersengal-sengal. Cukup untuk membuat kami keringatan.

Kami tiba di SMP Pangerasan sudah agak siang. Akan tetapi masih terlihat beberapa anak yang berseliweran. Kami langsung masuk ke area sekolah dan langsung disambut oleh bebrapa guru plus sang kepala sekolah, Pak Heri. Setelah dipersilakan istirahat, kami mulai rangkaian kegiatan kerja sosial kami.

Bagi Buku dan Mengajar
Kami awali kerja kami dengan menyumbang buku. Kegiatan ini dilaksanakan di perpustakaan SPM tersebut. Sebelumnya kami membuka stand kecil-kecilan di kampus. Selama seminggu kami buka, setidaknya ada puluhan buku kami dapat, serta sedikit uang. Kami memang hanya menjadwalkan menymbang buku, jadi uang itu pun kami belikan buku, tepatnya atlas dan kamus.

Tidak disangka, kedua jenis bacaan itulah yang selama ini belum ada di sekolah tersebut. Penyerahan buku di wakili oleh ketua OSIS SMP tersebut. Dalam sambutannya, ia menyatakan sangat bangga bisa memiliki buku-buku yang kami sumbangkan.

Kami sedikit bingung. Ini fenomena pertama yang kami lihat. Atlas dan kamus adalah bukan hal penting, biasa saja bagi kami. Hanya mengarahkan mata ke depan layar computer dan lalu klik sana klik sini, kami sudah bisa mendapatkan mengakses atlas dan kamus. Sementara anak-anak ini baru pertama kali mendapatkan informasi dari kedua jenis buku itu. “Haha..kami harus bersyukur sepertinya..”

Kegiatan kedua adalah mengajar. Kami bukan mengajar mata perlajaran sehari-hari. Kami hanya membina siswa-siswi kelas tiga untuk persiapan Ujian AKhir. ada 6 mata pelajaran yang kami ajarkan: IPA, IPS, Matematika, Bahasa Indonesia, Pkn, dan Bahasa Inggris. Semua pengajar adalah mahasiswa. Kami mempersiapkannya selama seminggu.

Saat proses pengajaran berlangsung, pada awalnya anak-anak terlihat diam. Mungkin ini karena pertemuan kami yang pertama dengan mereka. Namun, dalam perjalananya, kegiatan pengajaran berlangsung lancar. Sorak sorai dan gelak tawa anak-anak desa itu sering menyeruak. Mahasiswa pengajar berupaya sekreatif mungkin. Sebagian besar bukan hanya menajar, tetapi juga sharing pengalaman dan seskali menyisipkan humor. Kadang kami juga berpikir, anak ini suka humornya apa pelajarannya? Tetapi semoga pelajarannya.

Kami menilai sebenarnya mereka sangat potensial. Mereka sangat antusias atas materi yang disampaikan. Bahkan ia telah menilai bahwa beberapa dari mereka adalah anak yang memang pandai. Namun, yang ia sayangkan adalah sepertinya mereka kurang perhatian. Belum ada akses yang memadai bagi putra putri Pangrasan ini.

Thursday, November 19, 2009

“Awi-Awi Mandiri” Lestarikan Angklung

Jakarta, MY NEWS—pengrajin-pengrajin angklung tradisional mengalami kegelisahan. Daya saing mereka mulai dipertanyakan.

Hal itu disampaikan Satrio, Direktur Operasional saung Angklung Udjo, Bandung, di Jakarta (14/11). Pernyataaan itu ia sampaikan disela-sela seminar Awi-Awi Mandiri. Program itu, kata satrio, adalah wujud upayanya dan team untuk menjaga daya saing pengrajin agklung di Indonesia. Satrio menyatakan Industri kerajinan merupakan salah satu UKM yanga ada di Indonesia, dan UKM adalah tulang punggung bangsa ini.

Kini Awi-Awi telah memiliki 12 kelompok pengrajin . Harapan dari Awi-Awi adalah terbentuknya cluster baru perekonomian di negara ini. Dengan demikan, ekonomi Indonesia akan terdorog untuk tumbuh.

Satrio mnambahkan, komunikasi antara komunitas, universitas, investor, pengrajin serta bank akan menciptakan teamwork yang solid untuk sukses. Capaian jangka pendeknya adalah daya saing yang akan meningkat.

Program Kerjasama
Awi-Awi Mandiri merupakan program kerjasama Saung Udjo dengan Bank Mandiri. Program ini merupakan representasi upaya menyelaraskan upaya pengrajin dengan desainer maupun bank. Awi-awi dimulai pada 2008 dengan ber-partner dengan universitas. “Awalnya kami hanya melakukannya dengan universitas-universitas di Bandung, tapi sekarang akan diperluas cakupannya”, kata Satrio.

Awi-Awi ini dilaksanakan atas kerjasama Saung Udjo dengan Bank Mandiri. Motifnya adalah untuk mengembangkan dan melestarikan budaya melalui UKM. Selain itu, menciptakan wirausahawan-wirausahawan baru dalah sebuah prioritas.



Tiga Motif
Saat ditanya mengenai apa alasan dibentuk Awi-Awi, Satrio mengatakan bahwa ada 3 alasan. Pertama, prospek dari pengembangan angklung sangat besar. Saat ini ada sekitar 238.000 sekolah yang menjadikan angklung sebagai muatan lokal. Meski demikian, masih terjadi gap antara produksi dan permintaan. Dalam satu tahun, misalnya Saung Udjo, hanya bisa memproduksi angklung sejumlah 200.000 set.

Kedua, bahan bakunya, bambu, adalah tipe tumbuhan yang tumbuh cepat. Hanya butuh 3-4 tahun untuk dapat dipanen. Satrio menambahkan Indonesia memiliki keragaman bambu no. 3 dunia mengalahkan China. “Seharusnya Indonesia yang menjadi negeri tirai bambu”, katanya sambil bercanda.

Ketiga, daya serap tenaga kerja usaha ini sangat besar. Usaha angklung bersifat one-village-one-product (OVOP). Maksudnya, satu kelompok usaha hanya memproduksi bagian tertentu dari angklung. “Jadi ada yang hanya bikin frame, ada yang bikin tabung dan ada yang tugasnya finishing” lanjut Satrio.

Nama Awi-Awi mandiri terdiri dari dua kata yakni awi dan mandiri. Awi berarti bambu dalam bahasa sunda, dan awi-awi berarti serumpun bambu. Satrio mengilustrasikan rumpun bambu ini sebagai kerjasama. Sedangkan mandiri berarti telah memiliki produk sendiri. Jadi dari namanya saja, program ini berupaya untuk mengajak masyrakat untuk bekerja sama untuk berproses menjadi mandiri.

Saturday, September 19, 2009

Asuransi: Win-win Solution dalam Krisis

Krisis ekonomi yang baru-baru ini terjadi memang berdampak besar bagi laju perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Tentu ini berdampak pada lesunya perekonomian negara ini. Akan tetapi, di tengah surutnya aktivitas ekonomi, industri asuransi justru menggeliat di tengah krisis.

Faktanya, akibat krisis banyak perusahaan yang mengalami kerugian. Indikatornya mudah, IHSG sempat turun mencapai hampir 50%. Yang terkena dampak bukan hanya perusahaan, tetapi pekerja—yang pastinya—terancam PHK. Lalu, masalah kembali mncul ketika nasabah ataupun rekanan mempertanyakan nasib harta ataupun investasi yang ditanamkan.



Asuransi Jadi Solusi
Secara konservatif, dapat disimpulkan bahwa adanya jaminan atas kerugian (kegagalan) sangat diperlukan. Agaknya, salah satu bentuk jaminan yang bisa diupayakan adalah asuransi.
Selama ini asuransi memang belum populer di kalangan masyarakat luas. Ini terlihat dari jumlah kontribusi industri asuransi yang baru mencapai 1,8% (2007). Kontribusi yang kecil ini disebabkan kesadaran masyarakat, baik individu maupun korporasi, akan pentingnya asuransi masih kurang. Padahal, berbeda dengan lembaga keuangan lain yang melulu hanya mendapat petaka jika terjadi krisis, industri asuransi justru bisa memperoleh ”berkah” dari krisis. Ini karena bisnis asuransi adalah bisnis risiko dan proteksi (Kompas.com, 22/10/08).

Di tengah ketidakpastian akibat krisis seperti ini, orang mulai mengerti mengapa asuransi sangat diperlukan dalam menopang pertumbuhan ekonomi. Kesadaran akan pentingnya berasuransi pun meningkat.

Perekonomian Terjamin
Evelina Pietruschka, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia, yang diwawacarai Kompas (16/06/09), menyatakan bahwa krisis apa saja, mulai dari sosial, ekonomi, sampai perubahan iklim, selalu menjadi momentum industri asuransi untuk tumbuh dan berperan lebih besar dalam perekonomian dan kehidupan masyarakat.

Dengan asuransi, individu akan mendapat manfaat sebagai proteksi pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Sementara, bagi korporasi, setidaknya ada dua manfaat besar, yakni bagi usaha korporasi dan lingkungan kerja karyawan.

Bagi perusahan, keberlangsungan pengerjaan proyek-proyek akan terjamin. Sementara, bagi karyawan, tentu keberadaan asuransi akan menjaga lingkungan kerja tetap kondusif. Asuransi akan mengingkatkan produktivitas karena turunnya jumlah hari kerja yang hilang. Selain itu, asuransi juga meningikatkan efisensi dan kualitas kerja, menurunkan biaya-biaya kesehatan dan asuransi, meningkatkan partisipasi dan rasa kepemilikan, dan, terakhir, rasio seleksi tenaga kerja yang lebih baik karena meningkatnya citra perusahaan.

Terkait pembayaran klaim, memang perusahaan asuransi mau tidak mau harus menggelontorkan dana yang cukup banyak (selama tahun 2008, asuransi umum telah membayar klaim Rp 8,05 triliun. Jumlah ini tentu setara dengan pembangunan proyek-proyek infrastruktur, seperti pelabuhan, jalan tol, dan pembangkit listrik). Akan tetapi, pembayaran klaim akan meningkatkan optimisme pasar pada keberadaan industri asuransi. Tentu ini sinyal positif bagi perkembangan industri tersebut. Hal ini juga akan meningkatkan kesadaran, baik korporasi dan individu, bahwa berasuransi adalah penting dalam menghadapi kesusahan.

Bagi perusahaan asuransi inilah momentum mengalirnya pundi-pundi laba dari premi yang masuk. Ini menegaskan bahwa keberadaan perusahaan asuransi menyajikan win-win solution bagi perekonomian negara. Di satu sisi perekonomian terjamin keberlangsungannya (dengan pembayaran klaim atas kerugian), di sisi lain perusahaan asuransi juga tidak dirugikan.

Optimalisasi Peran
Menurut Mira Sih’hati, Ketua Umum Federasi Asosiasi Perasuransian Indonesia, sedikitnya ada tiga hal yang bisa mendorong optimalisasi peran industri asuransi (Kompas.com, 22/10/08). Pertama, political will pemerintah dengan menciptakan iklim yang kondusif dan menggairahkan bagi masyarakat untuk mau menempatkan dananya melalui premi asuransi dalam berbagai program asuransi.

Kedua, partisipasi masyarakat, terutama masyarakat akademis. Selama ini kesadaran asuransi masyarakat sangat rendah karena ketidaktahuan mengingat industri asuransi tidak diperkenalkan di bangku sekolah. Ketiga, inovasi dan profesionalisme para pelaku industri asuransi sendiri, baik layanan, produk maupun SDM-nya.

Akhirnya, sudah seharusnya industri asuransi punya tempat terhormat di kancah perekonomian Indonesia. Perannya, terutama sebagai penjamin kerugian, sangat membantu menjaga kestabilan ekonomi. Selain itu, kesadaran akan besarnya peran asuransi harus dipahami oleh semua pihak. Mari berasuransi!

Saturday, August 8, 2009

Islam Agama Terorisme?


Salah Penafsiran Ajaran Berujung Terorisme
Teror bom yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini menimbulkan stereotype Islam agama teroris. Konsep jihad dimakanai sebagai terorisme itu sendiri. Ini adalah akibat penafsiran ajaran Islam yang dangkal.
Pengeboman bahkan dianggap sebagai jalan menuju surga. Sehingga, pelakunya dengan yakin dan tenang melakukan hal tersebut.

Hal ini diungkapkan Aan Rukmana, dosen filsafat Universitas Paramadina Jakarta Selasa (28/7). Ia menyatakan stereotyping ini terjadi karena penafsiran yang dangkal atas ajaran Islam baik oleh pelaku maupun para analis. Seharusnya, sudut pandang harus diperluas sehingga tidak sembarangan melakukan stereotyping. “Bila kita melihat dunia luar, maka pelaku bom itu ya bukan orang Islam saja. Masalahnya, ketika mereka (orang non Islam, penl) melakukan pengeboman, stereotype tidak dilakukan”, ujar lulusan S2 Universitas Paramadina ini.

Di Jepang, ada Sekte Aum yang juga melakukan teror dengan melakukan pembunuhan massal di kereta bawah tanah. Sementara, di Amerika serikat, negara yang menyeru-serukan perlawanan terhadap terorisme, terdapat sebuah serupa bernama Branch Davidian. Kelompok ini pun juga sering melakukan tindakan ekstrim dengan mati bersama dengan minum racun bersama. Lalu mengapa mereka tidak serang dengan tuduhan terorisme sebagaimana Islam?

Ada Politisasi Agama dan Peristiwa
Menurut Aan, hal ini disebabkan adanya politisasi baik agama ataupun peristiwanya. Politisasi agama dilakukan oleh pelaku bom itu dengan menafsiran Kitab Suci dengan dangkal dan melenceng. “Jihad itu bukan untuk menakuti orang lain, apalagi anak kecil dan wanita. Penyerangan bom itu bukan jihad. Bahkan dalam ajaran Islam, orang yang berlindung di rumah ibadah apapun itu haram untuk diusik apalagi dibunuh. Bagaimana mungkin hal itu bias disebut jihad?” kata Aan.

Hal yang senada diungkapkan KH Ma’ruf amin, ketua MUI, saat diwawancarai Kompas.com (22/7). Beliau menyatakan bahwa terdapat distorsi pemahaman ajaran Islam. “Jadi sebenarnya ada distorsi pemahaman tentang ajaran Islam, pelaku peledakan bom tersebut menganggap bahwa perbuatannya merupakan jihad," ujarnya.

Sementara, politisasi peristiwa dilakukan para analis yang melakuakan generalisasi salah kaprah. Hanya karena beberpa peristiwa, Islam langsung dituduh menyebarkan ajaran terorime. Salah satu buktinya adalah video berjudul Fitna yang sempat menghebohkan dunia. Bahkan, salah satu isinya menyatakan bahwa Al-Quran adalah pemberi lisensi terhadap pembunuhan kepada non muslim (killing licence).

Miskin Bukan Penyebab
Beberapa ahli menyatakan bahwa salah satu sumber penyebab trorisme di Indonesia adalah kemiskinan. Namun, pernyataan ini kurang disetujui oleh Aan. Kemiskinan tidak akan mendorong orang unutk mau bunuh diri. yang menjadi maslah utama adalah perihal eskatologis yang menyangkut paham bunuh diri masuk surga.

Sekali lagi ini kembali kepada penafsiran yang salah terhadap ajaran agama. Agama yang seharusnya prokemanusiaan, ditafsirkan dangkal sehingga menjadi agama penyebar ketakutan atau teror.

Jalan Keluar
Menurut Aan, Islam sekarang ini harus dikembalikan kepada fungsi aslinya yakni rahmatal lilalamin (agama untuk keselamatan seluruh alam). Maksudnya, Islam yang tidak memisah-misahkan, baik orang jahat maupun baik, baik yang Islam maupun non muslim. Kalau memang butuh perlindungan, melindungi mereka adalah hal yang paling tepat. “Umat Islam seharusnya meniru matahari yang selalu bercahaya untuk alam semesta ini tanpa harus membeda-bedakan siapa yang harus mendapat cahaya atau yang tidak”, tukasnya.

Sementara itu, KH Ma’ruf Amin menyatakan bahwa terosrisme bisa ditangkal dengan dua hal. Petama dari aspek perlindungan, yakni peran pihak keamanan negeri ini harus ditingkatkan. Ruang gerak kelompok-kelompok teroris harus dipersempit bahkan dihilangkan. Kedua dari aspek pemahaman. Hal ini senada dengan yang disampaikan Aan, yakni mengenai pemahaman ajaran agama Islam sendiri. "Pemahaman radikalisme itu harus dibuang karena itu salah," katanya.